Rusli Alias Irus: Berdiri di Antara Peluru Dan Kemanusian

Berita22 Dilihat

Laporan Investigatif oleh Jufri Zainuddin

Aceh Timur, Inpirasipublik.id | Awal 2000.
Kabut pagi turun perlahan di atas ladang-ladang kosong Gampong Lhee. Suara tembakan masih terdengar di kejauhan — samar, tapi cukup membuat dada sesak. Di tengah kepanikan warga yang berlarian meninggalkan rumah, seorang pria muda tampak bergegas membantu seorang ibu tua naik ke atas truk pengungsi. Namanya Rusli, tapi orang-orang memanggilnya Irus.

Hari itu, Irus tak hanya kehilangan rumah, tapi juga kehilangan tanah kelahirannya. Ia resmi menjadi pengungsi. Namun, justru di tengah keterasingan itulah, kisah perjuangan kemanusiaannya dimulai.

Dari Pengungsi Menjadi Penolong

Sesampainya di tempat pengungsian, Irus melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan: anak-anak menangis tanpa ibu, ibu-ibu menunggu kabar suami yang tak kembali, dan relawan-relawan muda berjuang menyalurkan bantuan dengan peralatan seadanya.
Salah satu lembaga kemanusiaan yang hadir waktu itu adalah People Crisis Centre (PCC) — sebuah organisasi lokal yang berdiri dari semangat warga sipil Aceh untuk membantu sesamanya di tengah konflik.

Awalnya Irus hanya membantu memanggul karung beras, menyusun logistik, atau membagi air minum. Tapi dari hari ke hari, keberaniannya menarik perhatian para koordinator. Ia tak takut menembus daerah rawan demi membawa bantuan. Ia ikut mengangkat jenazah korban peluru nyasar. Ia tahu risikonya besar, tapi nuraninya lebih besar dari rasa takut itu.

“Irus itu orangnya tak banyak bicara, tapi kalau sudah di lapangan, dialah yang paling depan,” ujar seorang mantan relawan PCC yang kini menetap di Banda Aceh

Insiden Julok: Salah Paham yang Mengubah Segalanya

Akhir tahun 2001, udara Aceh memanas. Jaringan relawan dan masyarakat sipil tengah bersiap untuk aksi damai SIRA Rakan di Banda Aceh — gerakan besar yang menuntut penyelesaian konflik secara bermartabat. Irus ikut ditugaskan menghimpun massa dari Aceh Timur. Titik kumpul ditetapkan di kantor PCC Julok, tempat para relawan biasa berkoordinasi.

Namun rencana itu tak berjalan sesuai harapan.
Beberapa jam sebelum rombongan berangkat, sepasukan Gegana datang. Mereka memerintahkan massa bubar, menuduh kegiatan itu sebagai upaya provokasi. Dalam kekacauan itu, Irus ditangkap.

Ia dibawa ke Mapolsek Julok dan langsung dihajar di depan kantor polisi. Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahnya hingga darah menetes di tanah berdebu. Dalam rasa sakit yang tak tertahankan, Irus hanya bisa berkata lirih:

“Jangan pukul di muka, Pak… kalau mau, pukul di belakang saja.”

Kalimat sederhana itu — diucapkan dengan logat Aceh yang kental — ternyata disalahpahami.
Aparat mengira maksudnya “bukan di depan Polsek, tapi di belakang Polsek.” Maka Irus diseret ke belakang, dan di sanalah derita sesungguhnya dimulai. Ia dipukuli, disiksa, hingga tulang rusuknya patah.

“Waktu kami temukan dua hari kemudian, badannya penuh lebam. Tapi matanya tetap menyala — bukan karena marah, tapi karena masih ingin hidup,” kenang salah satu relawan PCC yang menjemputnya.

Irus kemudian dibawa ke Banda Aceh untuk mendapat perawatan medis. Tubuhnya remuk, tapi semangatnya belum.

Bertahan Dalam Sepi dan Ketakutan

Tahun 2002 hingga 2003, situasi makin genting. Banyak relawan PCC dievakuasi ke Jakarta karena ancaman keselamatan. Namun Irus memilih tinggal. Ia tahu risikonya — tanpa perlindungan, tanpa rekan, dan setiap langkah bisa berarti pertemuan dengan maut. Tapi ia tetap menolak pergi.

“Kalau semua lari, siapa yang bantu mereka?” katanya pelan suatu malam, menatap arah gunung yang gelap.

Dalam kesepian, Irus tetap bergerak. Ia mendata pengungsi, mengantar bantuan, dan menulis laporan untuk tim pusat dengan tangan gemetar. Tidurnya tak pernah tenang. Kadang di rumah warga, kadang di gudang logistik. Suara anjing menggonggong di malam hari sudah seperti alarm yang mengingatkan bahwa hidupnya bisa berakhir kapan saja.

Namun keberanian yang lahir dari kepedihan membuatnya tetap berdiri. Bukan karena tak takut mati, tapi karena ia telah memilih: berpihak pada manusia.

Jejak yang Tak Terhapus

Kini, lebih dari dua puluh tahun telah berlalu. Nama Rusli alias Irus jarang disebut. Tak ada patung yang dibuat untuknya, tak ada penghargaan resmi. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, Irus adalah simbol kesetiaan pada nilai kemanusiaan di tengah kekerasan yang membutakan.

Ia adalah saksi, korban, sekaligus penolong — sosok yang berjalan di garis tipis antara hidup dan mati, namun tak pernah berpaling dari nurani.

Catatan Redaksi:
Kisah ini disusun berdasarkan kesaksian sejumlah mantan relawan People Crisis Centre (PCC), dokumen lapangan tahun 2000–2003, serta wawancara dengan pihak Rusli saksi yang hidup.
Beberapa nama dan lokasi disamarkan demi keamanan narasumber.

Tinggalkan Balasan