Bu Dini Fitria Bukan Penjahat

Refleksi atas Krisis Kepemimpinan Moral dan Keteladanan Keluarga dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Laporan Jurnalistik oleh Inong Mayank Seulodang
Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Samudra (UNSAM) Langsa


Kronologi Kasus dan Reaksi Publik

Kasus yang menimpa Dini Fitria, Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi sorotan nasional setelah dirinya dinonaktifkan dari jabatan kepala sekolah. Keputusan itu diambil oleh Pemerintah Provinsi Banten menyusul aksi protes sekitar 630 siswa yang menuntut pergantian kepala sekolah.

Sumber internal menyebutkan, peristiwa bermula saat seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kepala sekolah menegur dengan nada keras, namun tindakan disiplin itu kemudian berkembang menjadi tuduhan penamparan terhadap siswa.

Tanpa melalui proses klarifikasi menyeluruh, Gubernur Banten bersama Sekretaris Daerah langsung mengambil langkah administratif untuk mencopot Bu Dini dari jabatannya. Langkah ini menuai kritik dari berbagai kalangan pendidik dan pemerhati etika publik, karena dinilai tergesa-gesa dan tanpa pendalaman kasus.


Guru dan Krisis Kepemimpinan Moral

Dalam dunia pendidikan, guru berperan sebagai moral agent — sosok yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai dan karakter. Dalam konteks ini, tindakan Bu Dini sebenarnya merupakan upaya penegakan disiplin terhadap pelanggaran tata tertib sekolah.

Namun, keputusan birokrasi yang cepat tanpa pertimbangan etika menunjukkan adanya krisis kepemimpinan moral. Pemimpin publik seharusnya memiliki kemampuan menimbang antara emosi massa dan kebenaran moral. Ketika keputusan diambil lebih karena tekanan opini publik daripada hasil investigasi, maka keadilan menjadi korban.

Beberapa akademisi pendidikan menilai, sikap pemerintah tersebut mencerminkan kerapuhan moral leadership di dunia pendidikan, di mana citra politik lebih diutamakan ketimbang perlindungan terhadap otoritas guru.


Orang Tua dan Krisis Keteladanan

Fenomena ini juga mengungkap persoalan yang lebih dalam: menurunnya keteladanan moral di keluarga. Perilaku siswa yang berani merokok di sekolah, lalu memobilisasi protes terhadap kepala sekolah, tidak lahir dari ruang kosong.

Dalam konsep “Tri Pusat Pendidikan” yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan karakter anak terbentuk dari tiga lingkungan utama: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika keluarga melepaskan tanggung jawab moralnya, dua pilar lainnya akan goyah.

Banyak orang tua kini cenderung membela anak tanpa refleksi, seolah kasih sayang berarti selalu memihak, bahkan terhadap kesalahan. Padahal, kasih tanpa ketegasan hanya melahirkan generasi yang lemah secara moral dan rentan terhadap penyimpangan nilai.


Disiplin Bukan Kekerasan

Dalam perspektif pendidikan karakter (Lickona, 1991), disiplin bukanlah bentuk kekerasan, melainkan ekspresi kasih sayang yang bertanggung jawab. Ia menjadi pagar moral agar siswa tumbuh dengan kesadaran etika dan tanggung jawab sosial.

Namun, di tengah iklim sosial yang sensitif terhadap isu kekerasan, tindakan pendisiplinan kerap disalahartikan sebagai kekerasan fisik atau psikologis. Akibatnya, banyak guru kini merasa takut: takut menegur, takut mendidik, dan takut kehilangan jabatan.

Jika ketakutan ini terus dibiarkan, proses pendidikan akan kehilangan roh moralnya. Guru hanya akan menjadi penghibur di kelas — bukan pembentuk karakter bangsa.


Kritik terhadap Keputusan Pemerintah

Keputusan Pemerintah Provinsi Banten untuk menonaktifkan Bu Dini secara cepat menuai kritik dari pengamat kebijakan publik dan etika pendidikan. Mereka menilai langkah tersebut seharusnya diawali dengan investigasi independen, melibatkan pihak sekolah, komite pendidikan, psikolog anak, dan pakar etika publik.

Dalam teori etika pemerintahan (public ethics), keadilan substantif menuntut seorang pemimpin untuk mendengarkan semua pihak sebelum mengambil keputusan. Keputusan yang hanya mempertimbangkan aspek politis atau citra publik tanpa dasar keadilan disebut sebag

Tinggalkan Balasan