Masyarakat Pejuang Keadilan Pidie: Menolak atas Pembentukan Batalyon Baru di Aceh

Berita9839 Dilihat

Masyarakat yang tergabung dalam pejuang keadilan di Pidie ingin menggelar aksi unjuk rasa Di Blang Malu, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie,dengan tuntutan atas penolakan kehadiran batalyon baru di tanah Aceh,tetapi dalam hal ini pihak Polres,melalui Kasat Reskrim Pidie, AKP Dedy Miswar SSos.MH,meminta dan mengingatkan untuk melengkapi serta mengikuti SOP menyangkut izin keramaian terlebih dahulu,Rabu 11 Juni 2025.

Di dalam diskusi bersama pihak Polres,masyarakat Pidie atas nama aliansi pejuang keadilan mengutarakan aspirasi perihal penolakan keras atas kebijakan pemerintah pusat di bawah Dinas Penerangan Angkatan Darat dengan wacana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan di beberapa wilayah, diantaranya di Pidie.

Program pembentukan BTP dari Pusat untuk mendukung pencapaian swasembada pangan yang nanti nya, setiap batalyon ini bakal dilengkapi unsur kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan di wilayah Pidie,di anggap tidak sejalan seperti yang telah di maktub dalam MoU Helsinki.

Azilul Nazirna Tiro menyampaikan,pada poin 4 dalam nota MoU Helsinki secara eksplisit telah membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh, Keberadaan TNI di Aceh dibatasi oleh kesepakatan yang dilahirkan oleh GAM dan Pemerintah Pusat sehingga menjadi catatan penting dalam perjalanan perdamaian di Aceh pada 15 september 2005,dalam klausul 4.11 MoU Helsinki dengan jumlah TNI organik yang boleh berada di Aceh sebanyak 14.700 orang dan Polisi Organik 9.100 orang.

Lanjut Azilul ,penambahan Batalyon di Aceh itu menurutnya tidak mengindahkan nota hasil perjanjian antara GAM dan RI, dan ini telah mencederai, mengesampingkan perjanjian sebelumnya.Azilul meminta kejelasan pemerintah terhadap pemahaman ini,supaya benar-benar menjadi dasar penguatan damai di Aceh sebagai hukum tertinggi bagi kedua belah pihak secara prinsip,” ucap Azilul.

Ali Maulana,dirinya juga mengkritisi alasan penambahan pasukan Batalyon dikaitkan untuk ketahanan pangan,menurutnya persoalan pangan lebih tepat menjadi kewenangan sektor sipil,bukan militer,”ujarnya

Lanjutnya,pembentukan batalyon ini telah mengabaikan semangat perdamaian Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada 2005 silam,”tuturnya.

Ini bukan semata-mata soal menolak kehadiran TNI, tetapi persoalan menghormati MoU Helsinki yang telah membawa perdamaian. Pendekatan keamanan di Aceh seharusnya berbasis sipil yang dibutuhkan masyarakat adalah kesejahteraan, bukan penambahan batalyon,” sebutnya lagi.

Ali Maulana juga menyinggung kan tentang kebijakan pemerintah pusat yang tidak transparan sehingga menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara, dengan membuat terjadinya sengketa atas pulau yang sudah jelas milik warisan dari para raja, syuhada, dan masyarakat Aceh,tindakan seperti ini terang terang melanggar terhadap integritas perjanjian dengan mengabaikan terhadap isi di dalam kesepakatan damai pasca MoU Helsinki 2005.

Masyarakat mengingatkan apabila tuntutan mereka tidak di indahkan,untuk ke depan mereka akan membuat aksi dengan jumlah massa yang besar dengan tetap menyuarakan penolakan terhadap permasalahan BTP serta kepada pihak pemerintah Aceh kami sampaikan untuk mengambil sikap tegas terhadap poin tuntutan rakyat ini